Sabtu, 19 Desember 2015

Mentari yang belum bersinar



Mentari Yang Belum Bisa Bersinar
Tuhan Maha Kuasa, sadarkah kita? semua yang diberikannya adalah benar yang terbaik untuk kita. Perlahan mulai ku sadari itu. Banyak sekali pikiran yang berkecamuk di benakku belakangan ini. Tidak hanya UN yang makin mendekat yang membuat cemas bukan kepalang para murid SMA tahun ajaran 2011-2012 ini. Seprtinya bukan, ya bukan hal itu yang membuat pikiranku kacau.
“Mentari, mulai sekarang kita akan memulai hidup yang berbeda, semua akan berbeda dengan yang dulu. Bila roda berputar maka kita saat ini sedang ada di posisi bawah. Ibu tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Maafin Ibu ya Mentari”
Perkataan Ibu tadi malam membuatku memaksaku diam dalam lamunan untuk waktu yang cukup lama. Sambil ku letakkan dagu di atas tangan yang membentuk siku yang ku tempelkan di meja. Suasana kelas yang begitu hening akibat mata pelaajaran yang semakin siang semakin membosankan para murid menambah kekuatan sepiritual untukku lanjutkan memelihara ketakutan ini.
“Teng.. teng.. teng..” suara itu menyeruak memaksa masuk ke dalam sela-sela daun telingaku. Membuat halusinasi ketakutanku akan hal yang Ibu bicarakan tadi malam semua lenyap. Ya itu suara bel pulang sekolah, yang akan terus bersuara setiap hari kecuali hari libur yang menandakan tibalah saatnya kita para murid bergegas untuk segera pulang. Ditemani angin yang tengah asyik menari-menari yang kemudian menyapu daun-daun hingga berterbangan. Ku langkahkan kaki beranjak meninggalkan kelasku, menuju pintu gerbang yang ada di sebelah barat kelasku. Pintu gerbang yang perlahan mulai sedikit berkarat dan catnya yang semakin memudar dan terkelupas, terlihat semakin usang karena sering terhempas derasnya air hujan dan panasnya sinar matahari setiap hari.
Angin yang berhembus dengan kencang membuat sehelai daun jatuh dan menempel di sela rambutku. Ku hentikan langkahku sesaat setelah daun itu mendarat tepat di bagian belakang kepalaku. Lalu ku ambil daun yang sudah menguning itu. Ya memang agak susah ku ambil dari rambutku. Mungkin karena angin itu juga yang membuat debu-debu berterbangan menerpa rambutku sehingga menjadi kusut. Setelah ku amati ini adalah daun dari pohon ceri di halaman parkir sekolah. Daun yang berterbangan ini seakan membawaku ada di tengah-tengah hamparan pohon sakura yang indah. Membuat aku seperti ada di musim semi di jepang. Aku menggengam daun itu, entah akan ku apakan.
“Mentari, ngapain kamu bengong sambil lihatin daun itu?” Suara itu terdengar sayup dari arah belakang, dengan nada yang sedikit bingung. Ternyata suara itu adalah suara teman sebangkuku, dia biasa ku panggil Lisa.
“oh nggak kok eng.. enggak apa-apa lagi iseng aja” jawabku agak gagap sambil sedikit memaksa tersenyum.
“bener kamu gak apa-apa?” sambungnya heran.
“iya bener aku gak apa-apa lis.”
“ya udah yuk pulang, angkotnya udah nungguin kita tuh di depan!” ajaknya sambil memegang tanganku.
“kamu duluan aja lis aku nanti naik di depan gang aja” tolakku sambil melepaskan genggaman tangannya.
“bener nih gak apa-apa aku duluan?” sambungnya, meyakinkanku.
“iya bener gak apa-apa ko lis.”
“ya udah aku duluan ya Mentari.” sambil mengangkat tangan kanannya, kemudian setengah berlari menuju angkot yang dari tadi memang sudah menunggunya di depan.
Aku berlanjut meneruskan langkah. Aku menolak ajakan Lisa. Mungkin aku ngin ketenangan yang lebih. Entahlah, aku merasa itu lebih baik.
Hari ini langit berwarna pucat keabuan. Mentari mungkin sedang tak bersemangat hari ini. Ia terus menutupi wajahnya di balik awan-awan yang ada di sekelilingnya. Sama seperti keadaan hatiku saat ini entah perasaan apa yang hijrah di pikiranku, mungkin aku belum siap dengan semua ini. Sekarang aku seperti kehilangan arah, lupa apa yang aku cari. Tapi semestinya aku tak seperti ini. Aku tak boleh larut dalam keputusasaan. Patutku contoh sang surya itu. Sepertinya ia tak pernah lupa apa yang menjadi tugasnya. Ia tetap berusaha memberikan sinar terbaiknya untuk dunia.
Mungkin itu alasannya kedua orangtuaku memberikan nama itu untukku, putri Mentari. Ya mereka berharap aku menjadi Mentari yang berguna untuk orang lain, terutama untuk keluarga khususnya diriku sendiri. Tapi apa aku bisa menjadi Mentari seperti itu? Mentari yang selalu memberikan sinar kehangatan untuk semua mahluk yang ada di bumi ini. Tapi untuk saat ini aku belum bisa sepertinya. Aku belum bisa bersinar aku belum bisa berguna untuk orang lain terutama keluargaku.
“Neng gak naik angkot dari sini?” tanya abang supir angkot yang biasa mengantarkanku pulang.
“Oh enggak bang aku naik dari depan aja nanti.” jawabku sambil menghentikan langkahku sejenak.
“Kenapa atuh neng, tumben naik dari depan?”
“Gak apa-apa bang, aku lagi kepengen jalan kaki aja”
“Oh gitu ya sudah hati-hati neng” jawabnya setengah bingung sambil menurunkan alis dan kerutan di dahinya.
Letak sekolahku yang memang agak menjorok ke dalam gang. Kurang lebih 1 km dari jalan raya, sehingga kami para murid yang tidak menggunakan kendaraan pribadi harus berjalan kaki sampai depan gang. Terkadang ada beberapa angkot di depan pagar sekolah menunggu para murid, hal itu membantu kami agar tidak terlalu jauh berjalan kaki. Tapi hari ini aku ingin berjalan kaki saja, membiarkan angkot-angkot itu terisi oleh murid yang lain.
Ya Tuhan hamba tahu semua ini berasal darimu dan hanya darimu pun hamba diberikan jalan keluar, kuatkan hati kami jangan biarkan hati ini terlalu dalam untuk mengeluh kepadamu. Hamba bersyukur ya Tuhan, hamba diberkahi orang-orang yang begitu kuat di sekitar hamba. Ayah dan Ibu, ya mereka adalah tempat hamba bersandar ketika badan ini terasa lelah. Tempat hamba berkeluh kesah selama napas ini berhembus. Dan adik-adikku, ya mereka ada alasanku untuk terus tersenyum. Mereka adalah energi tersendiri untuk tubuh ini tetap kokoh.
Lama dalam lamunan membuatku tak sadar, telah sampai di ujung gang. Aku langsung menyeberang jalan dan menaiki angkot yang mengarah ke pasar. Ku putuskan untuk main ke rumah tante hari ini. Untuk sampai di rumah tante, aku harus 2 kali menaiki angkot. Dalam perjalanan aku hanya duduk terdiam, menerawang kosong ke arah jalan. Tak peduli pada sekitar. Sesampainya di pasar aku menyambung angkot. Karena rumah tanteku yang lumayan jauh, biasanya akulah penumpang terakhir di angkot, maka aku mengambil duduk di pojok, memudahkan penumpang lain untuk naik dan turun dari angkot. Aku tiap hari menaiki angkot.
Aku bahkan hafal dengan wajah supir-supir angkotnya, ya walaupun tak mengenal semua nama mereka. Setelah angkot berjalan cukup jauh, di dalam angkot hanya menyisakan beberapa penumpang.
“Kok, sekarang turunnya beda neng, biasanya di gang jambu?” tak hanya aku ternyata mereka juga hafal penumpang langganan mereka.
“Iya pak, pulangnya ke rumah tante sekarang.”
“Lagi ngambek ya neng sama Ibu?” tanyanya meledekku.
Aku terkekeh mendengar perkataan supir itu, ada-ada saja. “Bukan pak, lagi nginep aja di sana.”
Aku kemudian sadar, mungkin ini tawa pertamaku hari ini. Akhirnya kami sampai di gang masjid, aku turun dan membayar ongkosnya. Kemudian, tak lupa aku pun berterima kasih dan tersenyum kepada supir itu.
“Terima kasih, pak!”
Bukan hanya karena ia telah mengantar penumpangnya selamat tapi juga karena ia telah membuatku tertawa hari ini. Bukankah seharusnya aku tersenyum, untuk keluargaku, untuk Ibu dan Ayahku. Terlebih untuk Ibuku. Aku harus menguatkan hatinya, agar Ibu tak merasa sendiri, Ibu punya kami. Anak-anaknya yang sepatut ia banggakan. Mungkin ini doa orangtuaku saat ku terlahir Putri Mentari, Ibu ingin aku menjadi perempuan yang gigih dan memberi kekuatan juga kehangatan khususnya untuk keluargaku. Bukan saja saat hatiku bergembira, aku juga harus bisa menerangi keluargaku bahkan di saat gelap sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar