Mentari Yang Belum Bisa
Bersinar
Tuhan Maha
Kuasa, sadarkah kita? semua yang diberikannya adalah benar yang terbaik untuk
kita. Perlahan mulai ku sadari itu. Banyak sekali pikiran yang berkecamuk di
benakku belakangan ini. Tidak hanya UN yang makin mendekat yang membuat cemas
bukan kepalang para murid SMA tahun ajaran 2011-2012 ini. Seprtinya bukan, ya
bukan hal itu yang membuat pikiranku kacau.
“Mentari, mulai sekarang kita akan memulai hidup yang berbeda, semua akan berbeda dengan yang dulu. Bila roda berputar maka kita saat ini sedang ada di posisi bawah. Ibu tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Maafin Ibu ya Mentari”
“Mentari, mulai sekarang kita akan memulai hidup yang berbeda, semua akan berbeda dengan yang dulu. Bila roda berputar maka kita saat ini sedang ada di posisi bawah. Ibu tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Maafin Ibu ya Mentari”
Perkataan
Ibu tadi malam membuatku memaksaku diam dalam lamunan untuk waktu yang cukup
lama. Sambil ku letakkan dagu di atas tangan yang membentuk siku yang ku
tempelkan di meja. Suasana kelas yang begitu hening akibat mata pelaajaran yang
semakin siang semakin membosankan para murid menambah kekuatan sepiritual
untukku lanjutkan memelihara ketakutan ini.
“Teng..
teng.. teng..” suara itu menyeruak memaksa masuk ke dalam sela-sela daun
telingaku. Membuat halusinasi ketakutanku akan hal yang Ibu bicarakan tadi
malam semua lenyap. Ya itu suara bel pulang sekolah, yang akan terus bersuara
setiap hari kecuali hari libur yang menandakan tibalah saatnya kita para murid
bergegas untuk segera pulang. Ditemani angin yang tengah asyik menari-menari
yang kemudian menyapu daun-daun hingga berterbangan. Ku langkahkan kaki
beranjak meninggalkan kelasku, menuju pintu gerbang yang ada di sebelah barat kelasku.
Pintu gerbang yang perlahan mulai sedikit berkarat dan catnya yang semakin
memudar dan terkelupas, terlihat semakin usang karena sering terhempas derasnya
air hujan dan panasnya sinar matahari setiap hari.
Angin yang
berhembus dengan kencang membuat sehelai daun jatuh dan menempel di sela
rambutku. Ku hentikan langkahku sesaat setelah daun itu mendarat tepat di
bagian belakang kepalaku. Lalu ku ambil daun yang sudah menguning itu. Ya
memang agak susah ku ambil dari rambutku. Mungkin karena angin itu juga yang
membuat debu-debu berterbangan menerpa rambutku sehingga menjadi kusut. Setelah
ku amati ini adalah daun dari pohon ceri di halaman parkir sekolah. Daun yang
berterbangan ini seakan membawaku ada di tengah-tengah hamparan pohon sakura
yang indah. Membuat aku seperti ada di musim semi di jepang. Aku menggengam
daun itu, entah akan ku apakan.
“Mentari,
ngapain kamu bengong sambil lihatin daun itu?” Suara itu terdengar sayup dari
arah belakang, dengan nada yang sedikit bingung. Ternyata suara itu adalah
suara teman sebangkuku, dia biasa ku panggil Lisa.
“oh nggak kok eng.. enggak apa-apa lagi iseng aja” jawabku agak gagap sambil sedikit memaksa tersenyum.
“bener kamu gak apa-apa?” sambungnya heran.
“iya bener aku gak apa-apa lis.”
“ya udah yuk pulang, angkotnya udah nungguin kita tuh di depan!” ajaknya sambil memegang tanganku.
“kamu duluan aja lis aku nanti naik di depan gang aja” tolakku sambil melepaskan genggaman tangannya.
“bener nih gak apa-apa aku duluan?” sambungnya, meyakinkanku.
“iya bener gak apa-apa ko lis.”
“ya udah aku duluan ya Mentari.” sambil mengangkat tangan kanannya, kemudian setengah berlari menuju angkot yang dari tadi memang sudah menunggunya di depan.
Aku berlanjut meneruskan langkah. Aku menolak ajakan Lisa. Mungkin aku ngin ketenangan yang lebih. Entahlah, aku merasa itu lebih baik.
“oh nggak kok eng.. enggak apa-apa lagi iseng aja” jawabku agak gagap sambil sedikit memaksa tersenyum.
“bener kamu gak apa-apa?” sambungnya heran.
“iya bener aku gak apa-apa lis.”
“ya udah yuk pulang, angkotnya udah nungguin kita tuh di depan!” ajaknya sambil memegang tanganku.
“kamu duluan aja lis aku nanti naik di depan gang aja” tolakku sambil melepaskan genggaman tangannya.
“bener nih gak apa-apa aku duluan?” sambungnya, meyakinkanku.
“iya bener gak apa-apa ko lis.”
“ya udah aku duluan ya Mentari.” sambil mengangkat tangan kanannya, kemudian setengah berlari menuju angkot yang dari tadi memang sudah menunggunya di depan.
Aku berlanjut meneruskan langkah. Aku menolak ajakan Lisa. Mungkin aku ngin ketenangan yang lebih. Entahlah, aku merasa itu lebih baik.
Hari ini
langit berwarna pucat keabuan. Mentari mungkin sedang tak bersemangat hari ini.
Ia terus menutupi wajahnya di balik awan-awan yang ada di sekelilingnya. Sama
seperti keadaan hatiku saat ini entah perasaan apa yang hijrah di pikiranku,
mungkin aku belum siap dengan semua ini. Sekarang aku seperti kehilangan arah,
lupa apa yang aku cari. Tapi semestinya aku tak seperti ini. Aku tak boleh
larut dalam keputusasaan. Patutku contoh sang surya itu. Sepertinya ia tak
pernah lupa apa yang menjadi tugasnya. Ia tetap berusaha memberikan sinar
terbaiknya untuk dunia.
Mungkin itu
alasannya kedua orangtuaku memberikan nama itu untukku, putri Mentari. Ya
mereka berharap aku menjadi Mentari yang berguna untuk orang lain, terutama
untuk keluarga khususnya diriku sendiri. Tapi apa aku bisa menjadi Mentari
seperti itu? Mentari yang selalu memberikan sinar kehangatan untuk semua mahluk
yang ada di bumi ini. Tapi untuk saat ini aku belum bisa sepertinya. Aku belum
bisa bersinar aku belum bisa berguna untuk orang lain terutama keluargaku.
“Neng gak
naik angkot dari sini?” tanya abang supir angkot yang biasa mengantarkanku
pulang.
“Oh enggak bang aku naik dari depan aja nanti.” jawabku sambil menghentikan langkahku sejenak.
“Kenapa atuh neng, tumben naik dari depan?”
“Gak apa-apa bang, aku lagi kepengen jalan kaki aja”
“Oh gitu ya sudah hati-hati neng” jawabnya setengah bingung sambil menurunkan alis dan kerutan di dahinya.
“Oh enggak bang aku naik dari depan aja nanti.” jawabku sambil menghentikan langkahku sejenak.
“Kenapa atuh neng, tumben naik dari depan?”
“Gak apa-apa bang, aku lagi kepengen jalan kaki aja”
“Oh gitu ya sudah hati-hati neng” jawabnya setengah bingung sambil menurunkan alis dan kerutan di dahinya.
Letak
sekolahku yang memang agak menjorok ke dalam gang. Kurang lebih 1 km dari jalan
raya, sehingga kami para murid yang tidak menggunakan kendaraan pribadi harus
berjalan kaki sampai depan gang. Terkadang ada beberapa angkot di depan pagar
sekolah menunggu para murid, hal itu membantu kami agar tidak terlalu jauh
berjalan kaki. Tapi hari ini aku ingin berjalan kaki saja, membiarkan
angkot-angkot itu terisi oleh murid yang lain.
Ya Tuhan
hamba tahu semua ini berasal darimu dan hanya darimu pun hamba diberikan jalan
keluar, kuatkan hati kami jangan biarkan hati ini terlalu dalam untuk mengeluh
kepadamu. Hamba bersyukur ya Tuhan, hamba diberkahi orang-orang yang begitu
kuat di sekitar hamba. Ayah dan Ibu, ya mereka adalah tempat hamba bersandar
ketika badan ini terasa lelah. Tempat hamba berkeluh kesah selama napas ini
berhembus. Dan adik-adikku, ya mereka ada alasanku untuk terus tersenyum.
Mereka adalah energi tersendiri untuk tubuh ini tetap kokoh.
Lama dalam
lamunan membuatku tak sadar, telah sampai di ujung gang. Aku langsung
menyeberang jalan dan menaiki angkot yang mengarah ke pasar. Ku putuskan untuk
main ke rumah tante hari ini. Untuk sampai di rumah tante, aku harus 2 kali
menaiki angkot. Dalam perjalanan aku hanya duduk terdiam, menerawang kosong ke
arah jalan. Tak peduli pada sekitar. Sesampainya di pasar aku menyambung
angkot. Karena rumah tanteku yang lumayan jauh, biasanya akulah penumpang
terakhir di angkot, maka aku mengambil duduk di pojok, memudahkan penumpang
lain untuk naik dan turun dari angkot. Aku tiap hari menaiki angkot.
Aku bahkan
hafal dengan wajah supir-supir angkotnya, ya walaupun tak mengenal semua nama
mereka. Setelah angkot berjalan cukup jauh, di dalam angkot hanya menyisakan
beberapa penumpang.
“Kok, sekarang turunnya beda neng, biasanya di gang jambu?” tak hanya aku ternyata mereka juga hafal penumpang langganan mereka.
“Iya pak, pulangnya ke rumah tante sekarang.”
“Lagi ngambek ya neng sama Ibu?” tanyanya meledekku.
Aku terkekeh mendengar perkataan supir itu, ada-ada saja. “Bukan pak, lagi nginep aja di sana.”
“Kok, sekarang turunnya beda neng, biasanya di gang jambu?” tak hanya aku ternyata mereka juga hafal penumpang langganan mereka.
“Iya pak, pulangnya ke rumah tante sekarang.”
“Lagi ngambek ya neng sama Ibu?” tanyanya meledekku.
Aku terkekeh mendengar perkataan supir itu, ada-ada saja. “Bukan pak, lagi nginep aja di sana.”
Aku kemudian
sadar, mungkin ini tawa pertamaku hari ini. Akhirnya kami sampai di gang
masjid, aku turun dan membayar ongkosnya. Kemudian, tak lupa aku pun berterima
kasih dan tersenyum kepada supir itu.
“Terima kasih, pak!”
“Terima kasih, pak!”
Bukan hanya
karena ia telah mengantar penumpangnya selamat tapi juga karena ia telah
membuatku tertawa hari ini. Bukankah seharusnya aku tersenyum, untuk
keluargaku, untuk Ibu dan Ayahku. Terlebih untuk Ibuku. Aku harus menguatkan
hatinya, agar Ibu tak merasa sendiri, Ibu punya kami. Anak-anaknya yang sepatut
ia banggakan. Mungkin ini doa orangtuaku saat ku terlahir Putri Mentari, Ibu
ingin aku menjadi perempuan yang gigih dan memberi kekuatan juga kehangatan
khususnya untuk keluargaku. Bukan saja saat hatiku bergembira, aku juga harus
bisa menerangi keluargaku bahkan di saat gelap sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar